Old school Swatch Watches

Saat kuingat...

25 desember 2011,cerpen islami

Lagu nasyid
berkumandang di kamar
Rani, mahasiswa tingkat
akhir di salah satu
perguruan tinggi swasta
di Bandung. Kamar
berukuran 3 x 3 meter itu
tampak sempit dengan
tumpukan kertas-kertas
bahan TA-nya. Di pojok
ruangan tergantung gamis
warna hijau, warna
kesukaan Rani, yang
tampak masih baru dan
siap dipakai. Di ujung
meja komputernya
tergeletak setumpuk kartu
undangan yang belum
diedarkan dan lagi-lagi
berwarna hijau. Di rak
sepatunya bertengger
sepatu warna hijau
lembut yang senada
dengan warna baju
gamisnya.
Seminggu lagi hari
pernikahannya. Tapi
Rani masih berkutat
dengan TA-nya. Baru
tiga hari lagi dia pulang.
Calon suaminya pun
masih sibuk mengurus
surat-surat untuk
pernikahan mereka.
Praktis, hubungan yang
terjalin pun hanya lewat
telpon dan sms. Tapi
bukan itu yang sekarang
membuat Rani hanya
menatap kosong layar
monitornya. Pikirannya
melayang, teringat
kejadian setengah tahun
yang lalu.
“Kamu dah siap Ran?
Kamu siap dengan segala
resiko dan kemungkinan
yang akan kamu hadapi?
Sampai kemungkinan
terburuk?” tanya Niken,
sahabat baik Rani, sekali
lagi.
Rani mengangguk
mantap. “Insya Allah aku
yakin. Toh, kemungkinan
terburuk, tawaranku gak
akan diterima kan?”
Niken menatap mata
Rani dalam-dalam.
“Kamu yakin?”
Sekali lagi Rani
mengangguk mantap.
“Aku sudah gak tahan
Ken. Mikirin dia setiap
hari tanpa ikatan yang
jelas kayak gini bikin
dosa aja. Capek Ken, aku
blingsatan dan kegeeran
tiap hari. Aku lelah
teringat tentang dia tiap
malam. Kamu tahu kan,
daya imajinasiku tinggi
sekali. Aku takut, bikin
dosa terus. Walau dosa
kecil kan, lama kelamaan
jadi dosa besar juga.”
Niken tersenyum,
“termasuk kamu siap jika
kemungkinannya dia
mau? Berarti kamu akan
segera menikah, dan
kamu akan jadi istri dia.”
Rani menggaruk
kepalanya yang tidak
gatal. “Bukannya ini
memang tujuanku Ken?”
Niken tertawa tertahan,
“Ternyata lo dah dewasa
neh…. Kalah deh gue!”
Rani tersenyum. Masih
menatap kosong layar
monitornya. Tak
sehurufpun dia ketikkan.
Pikirannya masih pada
kejadian itu. Dulu….
Setengah tahun yang
lalu…
“Aku bisa bantuin Ran,
tapi bener nih? Kamu
udah yakin?” tanya Mas
Ipong, calon suami Ika
teman sekostnya. Mas
Ipong lah yang akan jadi
perantaranya.
Rani menutup wajahnya
dengan ujung
kerudungnya. Wajahnya
terasa panas. Pipinya
pun merona merah.
Malu.
Ika menyahut, ”Udah lah
Mas, Rani dah ga sabar
tuh. Lihat tuh, mukanya
merah tuh…. Ntar Mas
Ipong nanyain aja, ya
nawarin gitu deh. Ngerti
kan? Ntar aku temenin
deh, biar gak ngelantur
kemana-mana
omongannya.”
“Ya udah, kalo dah yakin.
Tinggal nanya kan?” kata
Mas Ipong sambil
menahan senyumnya.
Wajah Rani semakin
memerah.
“Udah yuk! Kita
berangkat, dah telat nih….
Aku dah bikin janji ama
dia, jam 7. lima menit
lagi nih!” ajak Ika.
“Kamu ikut gak Ran?”
Rani menggeleng, “Aku
tunggu beritanya di
kostan aja. Cepat pulang
ya.”
Rani tersenyum tipis.
Dulu, dia begitu yakin.
Dulu, dia begitu mantap
dengan jalan yang akan
ditempuhnya.
Menawarkan dirinya
untuk dinikahi. Mencoba
melancarkan
keinginannya untuk
segera menikah, agar
tidak terpuruk terlalu
jauh, dengan memikirkan
laki-laki lain setiap hari,
bahkan setiap saat, dan
yang jelas bukan
mukhrimnya.
Ya Allah, aku ingin segera
menikah agar tidak
terpuruk seperti ini. Aku
tidak tahan memikirkan
lelaki yang bukan
mukhrimku. Aku lelah.
Ya Allah, aku ingin segera
menyempurnakan ½
agama-Mu. Ya Allah,
jika dia memang yang
terbaik untukku, maka
mudahkanlah jalanku
untuk menikah
dengannya. Tapi jika dia
bukan yang kau pilihkan
untukku, jauhkan hatiku
darinya. Do’a Rani setiap
hari dalam
kegalauannya.
Ya Allah, jika jalan yang
kutempuh ini adalah
jalan yang terbaik
untukku, jalan yang
penuh hikmah, maka
mudahkanlah. Berilah
keyakinan dan
kemantapan untukku
untuk melaluinya.
Tapi ternyata
keinginannya harus
tertunda. Seperti yang
telah dibayangkannya.
Tawarannya belum bisa
diterima. Karena
ternyata lelaki itu masih
belum siap untuk
mengarungi bahtera
rumah tangga.
Rani tersenyum teringat
saat itu. Saat itu dia
menjadi begitu pendiam
dan hanya mampu
menunduk dan
memainkan karet gelang
yang dipegangnya. Dan
Dendi, lelaki itu, berkali-
kali mencoba mulai
berbicara, tapi tampak
sangat kesulitan. Karena
berkali-kali hanya suara
tawa kecilnya yang
keluar.
“Mmmm…, maaf Ran.
Sebenarnya aku… ga ingin
pacaran. Aku…, aku ingin
langsung menikah,” kata
Dendi pelan. Seakan takut
melukai hati Rani.
Aku pun ga mau pacaran!
Aku pun ingin langsung
menikah! Teriak Rani
dalam hati.
“Tapi untuk menikah
sekarang…, aku belum
siap. Aku…, mmm…,
masih ingin sendiri,” kata
Dendi lebih hati-hati.
Seakan takut suaranya
adalah pedang yang akan
merobek-robek hati Rani.
Rani tersenyum kecil.
Seperti yang
kubayangkan, aku belum
diterima. Yah, sudahlah,
aku harus mencari orang
lain yang sudah siap
menikahiku. Tapi siapa?
“Lagi pula, aku baru mau
menikah setelah lulus
Ran.”
Kenapa harus? Aku bisa
kapan aja. Toh menikah
gak perlu ijazah S1.
“Kamu sudah siap
menikah?” tanyanya.
Aku gak akan melakukan
ini kalo aku gak siap
untuk menikah. Aku
bukan hanya ingin
menikah, aku butuh
menikah! “Aku…,” kata
Rani tercekat. “Aku ga
tahu. Itu pun yang selalu
menghantui pikiranku.”
“Dulu, aku memang
pernah suka sama kamu.”
Yah… Akhirnya aku
benar-benar di tolak.
“Maaf ya Ran. Aku
masih ingin sendiri.”
Dasar! Cowok takut
menikah?
Rani mengangguk pelan,
dan masih tersenyum.
“Mmmm…., aku
sebenarnya ga nyangka
kamu akan seperti ini.”
Kenapa tidak? Khadijah
pun menawarkan
dirinya pada Rasulullah.
Dan ini bukan hal tabu.
Seharusnya aku yang gak
nyangka kamu belum
mau menikah. Bukankah
Rasulullah bersabda,
bukan termasuk
golonganku orang yang
merasa khawatir akan
terkungkung hidupnya
karena menikah
kemudian ia tidak
menikah. Yah sudahlah…,
mungkin dia benar-benar
belum siap.
“Sebenarnya ada apa
sih?” tanya Dendi.
“Maksudku, kenapa kamu
bisa melakukan hal ini?”
Rani masih
mempermainkan karet
gelang yang dipegangnya.
Karena aku ga mau bikin
dosa setiap detikku! Aku
butuh menikah! “Aku ga
tahu Mas,” kata Rani
sambil menatap Dendi,
tapi sesaat kemudian dia
menundukkan
pandangannya kembali.
“Pasti kamu punya
alasan. Gak mungkin
kamu melakukan sesuatu
hal tanpa alasan.”
Karena kamu yang selalu
menghantui pikiranku!
“Aku ga tahu, apa itu.”
Rani masih menggeleng.
Esoknya, Rani mengirim
surat untuk Dendi.
Rani membuka file surat
yang dia kirimkan untuk
Dendi setengah tahun
yang lalu. Dibacanya
pelan-pelan surat yang
berisi keinginannya untuk
segera menyempurnakan
½ dien-Nya, yang
membuatnya berani
melakukan hal ini. Surat
sebanyak 5 halaman A4,
dan ditulisnya di pagi
hari selepas sholat subuh.
Rani tersenyum
membayangkan ekspresi
Dendi ketika membaca
surat itu. Surat yang
disalin dalam tulisan
tangan nya yang kecil-
kecil dan yang pasti akan
membuat Dendi pusing
ketika membacanya.
Seperti yang
dikeluhkannya saat itu.
“Aku ingin mengomentari
suratmu itu Ran. Boleh
kan?” tanya Dendi
melalui telpon. “Kok
kamu gak bilang dari
kemarin sih? Kan aku
jadi gak enak?”
Ohya? Berarti dia bener-
bener mengerti isi hatiku
itu dong?
“Tapi ga sekarang sih,
mungkin besok. Bisa?”
kata Dendi lagi.
Rani seperti mendapat
harapan baru, “Mmm…,
bisa. Besok ya?”
“Besok malam…, malam
Minggu ya?”
Kenapa? Toh kamu
jomblo juga kan?
“Begini aja deh. Besok
aku telpon kamu lagi,
untuk kepastian
kapannya. Gimana?”
“Oke,” Rani setuju. Dan
senyum mengembang di
bibir Rani saat itu.
Rani menggigit bibirnya
menahan tangis teringat
malam minggu itu dan
malam-malam
selanjutnya. Selama dua
minggu, Dendi tak juga
menepati janjinya.
Berbagai macam cara
ditempuh Rani agar
Dendi segera
membicarakan apa yang
ingin dibicarakannya.
Mulai sms, telpon, sampai
meminta bantuan Mas
Ipong, Ika, dan Niken tak
berpengaruh apa-apa.
Tak membuat Dendi
segera membicarakan hal
itu.
Rani semakin merana.
Nafsu makannya
menghilang. Berat
badannya turun drastis.
Konsentrasi belajarnya
menghilang, padahal saat
itu dia harus menghadapi
Ujian Akhir
Semesternya. Tugas
kuliahnya terbengkalai.
Kegiatannya sehari-hari
hanya melamun dan
menangis. Sudah
dicobanya untuk mencari
kesibukan lain, tapi setiap
kali masuk ke kamarnya,
dia kembali teringat
Dendi.
Air mata Rani menetes.
Sama seperti waktu itu.
Seminggu terakhir dalam
masa penantiannya itu,
setiap malam Rani
membasahi pipinya
dengan air mata. Tiap
malam kamarnya
menjadi saksi bisu
kegalauannya. Tempat
sampahnya penuh dengan
tissue bekas yang
dicampakkan begitu saja.
Buku hariannya penuh
dengan kekesalan dan
penantian yang tanpa
tahu kapan akan
berujung.
Aku gak tahu, dia
menunda terus hal ini
karena apa? Apa yang
masih dia pikirkan?
Apakah dia memikirkan
jawabannya, ataukah dia
memikirkan cara untuk
menyampaikan
jawabannya? Kenapa
dia begitu tega membuat
aku menunggu seperti
ini? Kenapa dia tak
mengerti perasaanku?
Jerit Rani dalam
tangisnya. Tangis yang
tak lagi dimengertinya
apakah patut dia berikan
untuk seseorang yang
telah membuat hatinya
tercabik-cabik.
Aku masih bisa menerima
penolakan dia. Aku masih
sanggup menerimanya
dan aku tak menangis.
Tapi, harus menunggu
seperti ini? Aku tak
sanggup. Tapi aku tak
tahu lagi apa yang harus
aku lakukan? Kenapa?
Apakah ini cara dia agar
aku membenci dia dan
dengan mudah
melupakannya? Tapi aku
tak bisa.
Air mata Rani menetes
semakin deras, mengingat
hal itu. Diraihnya tissue
di atas meja dan diseka
air matanya.
Tapi Rani juga heran,
saat berita buruk itu harus
dia terima juga. Saat Mas
Ipong mengabarkan
bahwa Dendi benar-
benar masih belum ingin
menjalin hubungan
dengan seorang wanita,
Rani masih bisa
menerima dengan tegar.
“Sudahlah Ran, cari aja
yang lain. Atau kau
masih mau
menunggunya?” tanya
Mas Ipong selepas
mengabarkan berita itu.
“Nyari yang lain lah
Mas. Aku harus nunggu
sampe kapan? Dan gak
pasti lagi. Udah nunggu
eh, ternyata dia gak mau
gimana?” kata Rani
mantap.
Tapi aku masih ingin
membicarakan hal ini
langsung dengan nya.
Kenapa dia gak ngomong
sendiri aja? Kenapa
harus lewat orang lain?
“Katanya, dia
sebenarnya selama ini
bingung mo ngomongnya
ama kamu kayak gimana.
Jadinya dia ngomong
lewat aku dulu, dan dia
akan hubungi kamu,” kata
Mas Ipong lagi.
Rani mengangguk. “Tapi
kapan dia mo ngomong
Mas?”
“Mungkin sehabis kamu
ujian Ran. Kemaren dia
janjinya sama kamu gitu
kan?”
Rani mengangguk.
Menunggu 4 hari lagi….
Rani meraih selembar
tissue lagi untuk menyeka
air matanya yang
kembali menetes.
Ternyata janji Dendi
pun tinggal janji. Tak
ada lagi pembicaraan di
antara mereka. Rani pun
terpaksa menutup kasus
ini dengan galau. Dengan
ganjalan yang begitu
besar, yang tak pernah
bisa terpecahkan lagi.
Kejadian yang tak
pernah dibayangkan
menjadi seperti ini.
Resiko yang begitu besar
yang harus dihadapi. Air
mata yang harus dia
habiskan, untuk menangis
dan merana. Waktu yang
harus dia lewati hanya
dengan melamun. Tapi
satu tekad Rani saat itu,
dia tak mau menyesal
telah melakukan hal itu,
walau begitu besar akibat
yang harus dia terima.
Rani pun berpikir bahwa
Allah belum memberikan
jodoh untuknya karena
diennya yang belum
berkualitas untuk
mendapatkan ikhwan
yang berkualitas pula.
Dan mungkin pula niat
dan orientasi Rani untuk
menikah belum lurus.
Dan bisa jadi pula jalan
yang ditempuh Rani
masih belum benar, masih
banyak lobang di sana-
sini.
Tapi saat itu juga, dia
merasa ada hikmah lain
yang bisa dia dapatkan.
Suatu pelajaran berharga
yang tak ternilai
harganya.
Namun setelah kejadian
itu hubungan Rani dengan
Dendi pun berangsur-
angsur kembali seperti
semula. Walau pada
awalnya keduanya
berusaha dengan keras,
mencoba bersikap normal,
namun pada akhirnya
hubungan keduanya
kembali seperti semula.
Ponsel disebelah Rani
berdering membuyarkan
lamunannya. Iwan,
calon suaminya, miss
call. Artinya dia
mengingatkan Rani untuk
menghentikan
aktivitasnya dan segera
menunaikan sholat
Dzuhur. Dua bulan yang
lalu Iwan melamar Rani.
Dia salah seorang sahabat
Dendi dan sahabat Rani
juga. Dulu, pada Iwan
lah Dendi menceritakan
masalah itu padanya,
walau tak menyebutkan
nama Rani disana. Dan
Iwan lah yang setiap hari
selalu hadir di mimpi
Rani, walau saat itu dia
pikirkan adalah Dendi.
Dan seminggu lagi, insya
Allah, mereka akan
segera menikah.
Rani tersenyum dibalik
sisa-sisa air matanya
yang telah mengering.
Akhirnya aku segera
tersadar. Hanya pada
Allah-lah tempat aku
bersandar. Yang akan
menguatkan hatiku yang
terkapar. Insya Allah
‘azzamku akan terwujud
lancar (Galau – Suara
Persaudaraan)
TAMAT
Saat aku benar-benar
harus melupakan dia
yang jauh di sana

Sumber : http://islamuda.com

Back to posts
Comments:
[2017-02-17 20:48] DANAN:

KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [5838] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 750 JUTA , wassalam.


dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


1\"Dikejar-kejar hutang

2\"Selaluh kalah dalam pasang NOMOR

3\"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi NOMOR


4\"Anda udah kem-m tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat







Solusi yang tepat jangan anda putus asah...AKI akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh NOMOR 2D ,4D, 6D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub:KI JAYA DI NO: [[[085-321-606-847]]]


ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D


ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
DAN PESUGIHAN TUYUL


Post a comment