Kupu-kupu itu hinggap di nisan tanpa nama

6 juni 2011

Kupu-kupu itu selalu
menghinggap di atas nisan
tanpa nama itu. Nisan dari kayu
lapuk yang tepat di bagian
timur makam Bapak. Kupu-kupu
yang pernah aku lihat dulu.
Agaknya memang tiap aku
ziarah ke makam Bapak ia
sengaja muncul menemuiku.
Mengisyaratkan agar aku
mengingat masa lalu.
Raut muka yang berseliweran di
depan
rumahku bukan tampak
biasa. Tak wajar. Tegang.
Sekitar delapan sampai lima
belasan orang berjaga di jalan.
Masing-masing memegang
gagang kayu sebesar lengan
orang dewasa. Mereka bersiap
jika ada serangan tak terduga.
Bapak ada disitu. Beberapa jam
yang lalu, tetanggaku dilempar
batu sebesar batok kelapa tepat
di dadanya. Akibatnya ia
dilarikan ke rumah sakit, entah
bagaimana keadaannya. Waktu
itu usiaku amat belia. Aku ingat
betul aku masih duduk di tahun
terakhir Madrasah Ibtidaiyah,
atau kalau kamu tak paham
istilah itu kamu bisa
menyebutnya Sekolah Dasar.
Begini. Kumulai kisahku dengan
sebuah Langgar Atau mungkin
orang di tempatmu
menyebutnya mushola, surau,
atau pondok. Di seberang jalan.
Sekitar lima menit berjalan kaki
dari rumahku. Tempat itu yang
kini tak kujumpai lagi jika
kupulang kampung. Tempatku
mengaji dulu. Pula tempat
pertama kali Bapak
mengantarku pada ustadz
Zuhdi. Kuingat, Persis di depan
rumah ustadz Zuhdi, guru ngaji
pertamaku itu langgar yang
paling awal berdiri sebelum
bertengger langgar-langgar
lainnya. Hanya dipisahkan jalan
yang membentang panjang di
antara langgar dan rumahnya.
Tentu tak sesepi tempat-tempat
ngaji yang ada sekarang. Anak-
anak kampung sebelah banyak
juga yang berduyun ngaji disitu.
Tapi sekarang tak mungkin bisa
kau saksikan lagi langgar itu
berdiri di kampungku. Berderet-
deret
bangunan baru begitu
membuat pangling. Puing
pondasinya pun telah berdiri di
atasnya sebuah ruko milik
turunan orang Cina. Tiap aku
berdiri di depan toko milik
orang Cina itu samar-samar
ingatanku membayang ustadz
Zuhdi. Ada dimana beliau
sekarang? Jika masih hidup,
mungkin kini ia telah bercucu
pinak. Namun bila telah tiada
dari dunia, maka dimana
pusaranya kini?
Rumahnya telah tak lagi terhuni.
Sepi. Genting-gentingnya masih
utuh di beberapa bagian.
Jendelanya tersisa kaca-kaca
tajam terkena lemparan batu. Di
bagian yang lain retak
membentuk alur yang tak
beraturan. Di berbagai sudut
hampa kamar rumah itu yang
bisa ditemui hanya gelap
pengap yang memenuhinya. Di
bagian muka, dulu ada taman
yang lumayan luas dengan
bunga-bunga yang berwarna-
warni, milik istri ustadz Zuhdi.
Sekarang hanya rerumputan
galak yang tampak tak asri.
Bangunan itu terlihat
menyeramkan.
Di seberang jalan di depan
rumah itu dulunya langgar itu
berdiri. Jelang maghrib, kami
akan sudah disitu. Berlomba
meletakkan mushaf Qur’an di
dampar agar mendapat giliran
setoran ngaji paling awal.
Menunggu maghrib tiba,
halaman rumah ustadz Zuhdi
akan terdengar reriangan. Kaki-
kaki yang berlarian
mengepulkan debu. Ada
teriakan dan canda. Mengejari
kupu-kupu di antara pohon
jambu air dan pohon sawo
kecik. Kupu-kupu yang cantik
warnanya. Putih, bergurat biru,
juga sedikit warna kuning.
Jarang kumenemukan selain di
halaman rumah itu.
Kupu-kupu itu menemani sore
kami. Seperti pernik-pernik
yang berwarna-warni. Kepakan
sayap kecilnya bergerak dalam
suara hampa. Sekejap ia akan
terbang entah kemana.
Kemudian kembali lagi.
Membawa kupu-kupu yang lain,
mungkin anak-anaknya atau
keluarganya. Beberapa ada
yang berdiam dalam
kepompong, menggantung di
dahan bunga kana.
Lalu ada yang berlarian menuju
tepi jalan.
Teriakan-teriakan konvoi
pemuda itu seperti tak
menghiraukan terik yang begitu
membuat
kulit kering keriput.
Ribuan orang tumpah ruah di
jalanan. Ada begitu banyak
motor yang meraung sehingga
suara bisingnya begitu lama
singgah di gendang telinga.
Juga ibu-ibu dan orang-orang
yang telah sepuh memenuhi
mobil bak terbuka. Berpuluh
ribu peluh tak mengeluh
kepanasan. Suara-suara gas
knalpot diiiringi bunyi klakson.
Nyanyian mereka khas sekali.
Konvoi itu gaduh. Seperti suara
panggilan yang membius warga
berkumpul
di sisi-sisi jalan.
Membentuk pagar manusia.
Menyaksikan ribuan orang
berlalu melewati jalan adalah
pemandangan yang menarik
buatku dan teman-temanku
saat itu. Wajar. Sesusiaku
menyukai hingar-bingar yang
tak biasa kusaksikan tiap hari.
Apalagi pakaian yang mereka
kenakan di jalanan. Begitu
menarik, ijo royo-royo. Muka-
muka pemuda itu coreng-
cemoreng hijau juga. Hijaunya
hijau muda. Teman-temanku
menyebut itu pawai Partai Ijo
Muda. Bapak juga ikut partai itu.
Kutahu sebab di muka halaman
rumahku di sisi jalan tertancap
tiang berlambang Partai Ijo
Muda.
“Itu partai bapakku!” tunjuk
Sapto bangga.
“Bapakku juga!” kubilang.
“Aku juga!” lalu yang lain
menyahut.
“Sssst..nanti ustadz Zuhdi
dengar,” bilang yang lainnya
lagi.

Iya, Sssstt…” aku melirik Sapto.
Tetanggaku Partai Ijo Muda.
Pamanku Partai Ijo Muda. Pak
Lik, Bu Lik, Pak dhe Partai Ijo
Muda. Hampir seluruh
keluargaku pengikut partai ijo
muda. Seluruh desa partai ijo
muda. Di kampungku cuma
Ustadz Zuhdi yang di depan
halamannya berkibar bendera
partai yang berbeda dari yang
dianut orang-orang kampung.
Partai Ijo tua, bukan ijo muda.
Partai ijo muda bergambar
seperti kotak kapur sedangkan
partai ijo tua bergambar
bulatan bumi.
Tiap saat yang dibicarakan pasti
bahasan yang sama. Tidak di
pasar, di warung, di emper-
emper rumah, bahkan di
pengajian rutinan pun. Pasti
pembicaraannya tentang pawai,
kampanye, konvoi, partai, itu-itu
saja. Pedagang berunding
dengan pembeli, serius masalah
partai. Bapak dan anak
musyawarah keluarga, ngurusi
partai. Kyai berdalil di depan
khalayak juga singgung-
menyinggung partai.
Tidak habis pikirnya, partai
dipuja bagai juru selamat. Kalau
tidak masuk partai itu tidak
masuk surga katanya. Entah
dalil dari mana itu. Pernah, dulu,
kuikut bapak berkonvoi di
jalanan. Membawa bendera dan
mengenakan kaos hijau muda
bergambar lambang seperti
kotak kapur.
Bangga rasanya sebab tidak
semua anak seusiaku mendapat
izin orang tuanya mengikuti
pawai sepertiku. Para orang tua
mereka itu bukannya tak mau
menuruti kehendak anaknya.
Bukan pula menolak hingar-
bingar dan sorak-sorai
keramaian. Tetapi para orang
tua khawatir keramaian itu
kadang membawa petaka.
Maksudku, kerusuhan sering
terjadi jika antar partai
berpapasan. Mungkin karena
adu gengsi. Sok menunjukkan
siapa yang terkuat. Sok saling
tunjuk calon pemimpinnyalah
yang paling kuat. Dan ujung-
ujungnya tawuran. Masuk
rumah sakit. Masuk penjara.
Ironisnya lagi nyawa melayang
demi membela seorang
pemimpin yang mereka sendiri
tak tahu jika terpilih kelak apa
masih ingat pengorbanan
mereka.
Saat itu aku tak ahu dari mana
mulanya, jika Partai Ijo muda
bertemu Partai Ijo tua maka
dipastikan yang terjadi
perseteruan. Aku sendiri tak
mengerti, kedua partai itu
basisnya islam, sama-sama
berasal dari organisasi islam
terbesar di Indonesia –seperti
yang dulu pernah kudengar
dari orang-orang-. Tapi
mengapa begitu mudahnya
mereka saling memusuhi. Saling
memaki. Bahkan berusaha
saling membunuh. Bukankah
sesama muslim itu saudara?
Bukankah pula sesama muslim
itu mesti saling tolong-
menolong?
Agaknya itu tak berlaku di
tempatku.
Fanatisme yang berlebihan telah
meracuni
pemikiran
masyarakatku. Otak mereka
telah dicuci. Jika tidak memilih
yang mereka pilih maka jangan
harap dianggap manusia di
masyarakatku. Mereka saling
cegat-mencegat. Jegal-menjegal
adalah hal yang wajar. Kata-kata
makian jadi umbaran yang halal
bagi juru kampanye yang
mengaku ulama itu. Waktu itu
pernah kudengar dari
kampanye -yang mereka sebut
itu pengajian sebab yang
berkampanye itu para kyai- ,
ulama-ulama juru kampanye itu
memaki ulama lain yang tak
sealiran dengannya, yang lebih
ironis lagi yang diumpatnya
waktu kampanye itu malah
kelak jadi kepala Negara
mereka.
Suatu pagi, seperti hari
sebelumnya. Bola raksasa yang
mengawang di angkasa
mengawali putarannya. Tak
pernah terpikirkan akan berapa
lama lagi bola raksasa itu akan
kehabisan energinya. Bahkan
belum terpikirkan jika suatu
pagi matahari akan lenyap dan
berhenti bersinar sedangkan
akal manusia belum mampu
menjangkau untuk mencari
energi yang bisa menggantikan
matahari. Matahari yang
sinarnya memancar ke banyak
bagian yang berbeda. Matahari
yang digunakan untuk patokan
waktu di seluruh dunia. Mereka
gunakan pula untuk menamai
musim yang terjadi. Matahari
yang dibutuhkan ibu jika akan
menjemur pakaianku dan
pakaian bapak. Matahari yang
dicari para petani untuk
mengeringkan gabah-
gabahnya. Dan pula matahari
yang digunakan nelayan untuk
mengeringkan ikan asinnya.
Jalanan di hari itu tak semeriah
hari lalu. Kabarnya hari itu akan
ada kampanye Partai Ijo Tua.
Tratak telah berdiri. Kursi-kursi
plastik di tata berjajar rapi.
Podium telah berdiri gagah.
Banser dan pasukan yang
terdiri dari orang-orang tegap
berjaga di situ. Suasana tampak
akan ada yang hajatan di
tempat itu.
“Hancurkan
kemusyrikan….Hancurkan
syaiton..!” Teriakan itu
memecah lengang. Disusul
konvoi lelaki bercadar putih.
Hanya mata yang saling
memandang. Mata tanpa nama
itu berkerumun membawa
senjata yang siap untuk
menyabet siapa saja yang akan
menghalangi niatnya.
“Kalian terkutuk! Kalian bukan
islam!” di bagian lain dari
konvoi itu meneriaki orang-
orang yang berada di pengajian
itu.
“Kalian lebih terkutuk lagi!”
jawab seorang dari pengajian
itu.
Seorang dari kelompok
pengajian itu menunjukkan
nyalinya. Sendirian ia
melangkah maju. Setelah
menengadahkan tangan, ia
membuat pagar ghaib.
Kekuatan yang tak terlihat itu
mampu mementalkan tiap
barisan konvoi yang mencoba
mendekati laki-laki tersebut.
Salah satu pemimpin konvoi
bercadar itu pun seperti
tersulut amarahnya. Ia turun,
entah melakukan ritual seolah
keduanya saling berperang
ghaib. Sesekali salah satu dari
keduanya ada yang terpental.
Tak beberapa lama ia
mengomandoi naka buahnya.
“Maju! Jangan takut, kita di jalan
yang benar!”
“Allahu Akbar!”
Dari belakang kerumunan
terlempar bom molotof yang
menjatuhi sebuah motor. Api
pun langsung menyala-nyala
memakan motor itu. Melahap
bagian demi bagian yang
terlapisi minyak tanah. Ratusan
orang bergerak merangsek
menenteng apa saja yang bisa
digunakan untuk melukai.
Bahkan bila perlu untuk
membunuh.
Bagai drama perang kolosal
masa lalu, tak ada mulut yang
berbicara. Sabetan pedang dan
celuritlah yang mewakili cakap
mereka. Sahut-sahutan asma
Allah seakan tak ada maknanya.
Tak ada yang mampu berpikir
jernih di situasi itu. Satu sama
lain saling mengklaim yang
benar. Saling mengaku
merekalah sebenar-benarnya
muslim. Partai telah
membutakan mata mereka.
Mereka pun tak peduli lagi jika
yang mereka hadapi adalah
saudara kandungnya. Mereka
putus begitu saja ukhuwah
yang terjalin ribuan tahun lalu.
Asap pekat membumbung ke
angkasa. Belasan kendaraan
menjadi korban keberingasan.
Dibakar dan dimasukkan ke
dalam sumur. Puluhan orang
terluka. Langgar dan rumah pun
tak
luput dari amarah. Mereka
lempari dengan batu. Mereka
robohkan atap-atapnya. Mereka
jarahi apa yang bisa mereka
anggap sebagai barang
berharga.
Malamnya, aku tak bisa lagi
mengaji lagi ke Langgar.
Langgar kami telah rata. Bapak
melarangku pergi kemana-
mana. Ibu-ibu dan anak-anak
tak diperkenankan di luar
rumah. Para pemuda dan orang
tualah yang berjaga. Sayup-
sayup dari dalam rumah
kudengar mereka
bercengkerama. Kudengar
dengan jelas mereka menyebut
nama Ustad Zuhdi. Guru ngajiku
itu menghilang sejak peristiwa
yang menghanguskan
langgarnya. Sebagian yakin jika
Ustad Zuhdi telah tewas
terbantai. Lainnya berargumen,
ustad Zuhdi menghilang
bersama istrinya. Satu sama lain
saling ngotot.
Setelah kejadian itu memang
tak lagi ada yang tahu dimana
Ustad Zuhdi. Banyak korban
berjatuhan dari peristiwa itu.
Dari yang terluka hingga hilang
nyawanya. Kampung kami
sedang berkabung. Berkabung
karena matinya akal sehat, juga
karena matinya ajaran
ukhuwah yang selalu diajarkan
Rasulullah. Kami menyesal
pikiran-pikiran jahiliyyah
kembali hadir di zaman se
modern ini.
Sekitar lima jenazah menjadi
korban peristiwa itu. Satu dari
partai Ijo Muda, tiga dari partai
Ijo Tua. Satu lagi korban tak
dikenal identitasnya. Jenazah itu
telah tak berupa manusia lagi.
Sekujur tubuhnya hangus
terbakar hingga tak terkenali.
Jenazah itu lah yang mereka
yakini jenazah Ustad Zuhdi.
Guru ngajiku. Mayat-mayat itu
dimakamkan dengan nisan
tanpa nama. Tak ada yang tahu
benar apakah itu Ustad Zuhdi.
Sampai saat ini pun.
Tiap aku pulang kampung dan
ziarah ke makam Bapak, kupu-
kupu itu selalu hadir di
penglihatanku. Ada ikatan batin
yang sulit diungkap antara aku
dan kupu-kupu itu. Kupu-kupu
itu seperti merekam sebuah
ingatan. Dalam senja yang
ramah angin terkadang luruh
seakan meniupkan kenangan.
Sebuah andai yang ingin
kembali terjadi. Tak ada hal lain
yang kukenang jika tengah
berdiri menatap kepakan lentik
dari warna yang begitu
membuat bayangan masa lalu
muncul kembali. Tak tahu dari
mana munculnya. Pernah
kucoba menelusuri asalnya. Tapi
niatanku begitu
saja pupus saat
bertemu kenyataan
kesehariaanku.
Jepara, Juni 2010, untuk
mengenang peristiwa 1999 di
kotaku
penulis:wahyu amir
sumber : majalah annida

Back to posts
Comments:
[2011-10-17 21:34] check backlink:

hiya and welcome wapislami.yn.lt owner discovered your website via Google but it was hard to find and I see you could have more visitors because there are not so many comments yet. I have discovered site which offer to dramtically increase traffic to your blog http://xrumerservice.org they claim they managed to get close to 1000 visitors/day using their services you could also get lot more targeted traffic from search engines as you have now. I used their services and got significantly more visitors to my site. Hope this helps :) They offer google seo seo search engine optimization <a href=http://xrumerservice.org>backlinks</a> buy quality backlinks
backlinks builder Take care. steve

[2011-10-05 23:03] affordable link building service:

page rank service buy seo <a href=http://xrumerservice.org>backlink service</a> backlink builder


Post a comment

mp3
wallpaper
aplikasi
ebook
artikel
Online Users
3/253864

XtGem Forum catalog