Istriku, Aku Mencintaimu

7 juni 2011|Kisah muslim,artikel islami,cerita islam

Kendati dirinya telah keliling
dunia, bahkan hampir tidak
ada negara baru di dalam
peta, dan terlalu sering naik
pesawat terbang sehingga
seperti naik mobil biasa,
namun istrinya belum
pernah naik pesawat
terbang kecuali pada malam
itu. Hal itu terjadi setelah 20
tahun pernikahan mereka.
Dari mana? Dan kemana?
Dari Dahran ke Riyadh.
Dengan siapa? Dengan
adiknya yang orang desa
dan bersahaja yang merasa
dirinya harus
menyenangkan hati
kakaknya dengan
semampunya. Ia membawa
wanita itu dengan mobil
bututnya dari Riyadh
menuju Dammam. Pada
waktu pulang, wanita itu
berharap kepadanya agar ia
naik pesawat terbang.
Wanita itu ingin naik
pesawat terbang sebelum
meninggal. Ia ingin naik
pesawat terbang yang
selalu dinaiki Khalid,
suaminya, dan yang ia lihat
di langit dan di televisi.
Sang adik mengabulkan
keinginannya dan membeli
tiket untuknya. Ia
menyertakan putranya
sebagai mahramnya.
Sementara ia pulang
sendirian dengan mobil
sambil diguncang oleh
perasaan dan mobilnya.
Malam itu Sarah tidak tidur,
melainkan bercerita kepada
suaminya, Khalid, selama
satu jam tentang pesawat
terbang. Ia bercerita
tentang pintu masuknya,
tempat duduknya,
penerangannya,
kemegahannya,
hidangannya, dan
bagaimana pesawat itu
terbang di udara. Terbang!!
Ia bercerita sambil
tercengang. Seolah-olah ia
baru datang dari planet lain.
Tercengang, terkesima, dan
berbinar-binar. Sementara
suaminya memandanginya
dengan perasaan heran.
Begitu selesai bercerita
tentang pesawat terbang, ia
langsung bercerita tentang
kota Dammam dan
perjalanan ke sana dari
awal sampai akhir. Juga
tentang laut yang baru
pertama kali dilihatnya
sepanjang hidupnya. Dan
juga tentang jalan yang
panjang dan indah antara
Riyadh dan Dammam saat ia
berangkat. Sedangkan saat
pulang ia naik pesawat
terbang. Pesawat terbang
yang tidak akan pernah ia
lupakan unuk selama-
lamanya.
Ia bercerita sambil
tercengang. Seolah-olah ia
baru datang dari planet
lain. Tercengang,
terkesima, dan berbinar-
binar. Sementara
suaminya
memandanginya dengan
perasaan heran.
Ia berlutut seperti bocah
kecil yang melihat kota-kota
hiburan terbesar untuk
pertama kalinya dalam
hidupnya. Ia mulai bercerita
kepada suaminya dengan
mata yang berbinar penuh
ketakjuban dan
kebahagiaan. Ia melihat
jalan raya, pusat
perbelanjaan, manusia,
batu, pasir, dan restoran.
Juga bagaimana laut
berombak dan berbuih
bagaikan onta yang
berjalan. Dan bagaimana ia
meletakkan kedua
tangannya di air laut dan ia
pun mencicipinya. Ternyata
asin
… asin. Pun, ia bercerita
bagaimana laut tampak
hitam di siang hari dan
tampak biru di malam hari.
“Aku melihat ikan, Khalid!
Aku melihatnya dengan
mata kepalaku. Aku
mendekat ke pantai. Adikku
menangkap seekor ikan
untukku, tapi aku kasihan
padanya dan kulepaskan
lagi ke air.
Ikan itu kecil dan lemah.
Aku kasihan pada ibunya
dan juga padanya.
Seandainya aku tidak malu,
Khalid, pasti aku
membangun rumah-
rumahan di tepi laut itu.
Aku melihat anak-anak
membangun rumah-
rumahan di sana. Oh ya, aku
lupa, Khalid
!” ia langsung
bangkit, lalu mengambil
tasnya, dan membukanya.
Ia mengeluarkan sebotol
parfum dan
memberikannya kepada
sang suami. Ia merasa
seolah-olah sedang
memberikan dunia. Ia
berkata,
“Ini hadiah
untukmu dariku. Aku juga
membawakanmu sandal
untuk kau pakai di kamar
mandi.

Ia mengeluarkan sebotol
parfum dan
memberikannya kepada
sang suami. Ia merasa
seolah-olah sedang
memberikan dunia.
Air mata hampir menetes
dari mata Khalid untuk
pertama kali. Untuk
pertama kalinya dalam
hubungannya dengan
Sarah dan perkawinannya
dengan sang istri. Ia sudah
berkeliling dunia tapi tidak
pernah sekalipun
memberikan hadiah kepada
sang istri. Ia sudah naik
sebagian besar maskapai
penerbangan di dunia, tapi
tidak pernah sekalipun
mengajak sang istri pergi
bersamanya. Karena, ia
mengira bahwa wanita itu
bodoh dan buta huruf. Apa
perlunya melihat dunia dan
bepergian? Mengapa ia
harus mengajaknya pergi
bersama?
Ia lupa bahwa wanita itu
adalah manusia. Manusia
dari awal sampai akhir. Dan
kemanusiaannya sekarang
tengah bersinar di
hadapannya dan bergejolak
di dalam hatinya. Ia melihat
istrinya membawakan
hadiah untuknya dan tidak
melupakannya. Betapa
besarnya perbedaan antara
uang yang ia berikan
kepada istrinya saat ia
berangkat bepergian atau
pulang dengan hadiah yang
diberikan sang istri
kepadanya dalam
perjalanan satu-satunya
dan yatim yang dilakukan
sang istri. Bagi Khalid,
sandal pemberian sang istri
itu setara dengan semua
uang yang pernah ia
berikan kepadanya. Karena
uang dari suami adalah
kewajiban, sedangkan
hadiah adalah sesuatu yang
lain. Ia merasakan
kesedihan tengah meremas
hatinya sambil melihat
wanita yang penyabar itu.
Wanita yang selalu mencuci
bajunya, menyiapkan
piringnya, melahirkan anak-
anaknya, mendampingi
hidupnya dan tidak tidur
saat ia sakit. Wanita itu
seolah-olah baru pertama
kali melihat dunia. Tidak
pernah terlintas di benak
wanita itu untuk
mengatakan kepadanya,
“Ajaklah aku pergi
bersamamu!” Atau bahkan,
“Mengapa ia tidak pernah
bepergian?” Karena ia
adalah wanita miskin yang
melihat suaminya di atas,
karena pendidikannya,
wawasannya, dan
kedermawanannya. Tapi
ternyata bagi Khalid, semua
itu kini menjadi hampa,
tanpa rasa dan tanpa hati.
Ia merasa bahwa dirinya
telah memenjara seorang
wanita yang tidak berdosa
selama 20 tahun yang hari-
harinya berjalan monoton.
Ia merasakan kesedihan
tengah meremas hatinya
sambil melihat wanita
yang penyabar itu. Wanita
yang selalu mencuci
bajunya, menyiapkan
piringnya, melahirkan
anak-anaknya,
mendampingi hidupnya
dan tidak tidur saat ia
sakit. Wanita itu seolah-
olah baru pertama kali
melihat dunia.
Kemudian, Khalid
mengangkat tangannya ke
matanya untuk menutupi
air matanya yang nyaris tak
tertahan. Dan ia
mengucapkan satu kata
kepada istrinya. Satu kata
yang diucapkannya untuk
pertama kalinya dalam
hidupnya dan tidak pernah
terbayang di dalam
benaknya bahwa ia akan
mengatakannya sampai
kapan pun. Ia berkata
kepada istrinya,
“Aku
mencintaimu.” Ia
mengucapkannya dari
lubuk hatinya.
Kedua tangan sang istri
berhenti membolak-balik
tas itu. Mulutnya pun
berhenti bercerita. Ia
merasa bahwa dirinya telah
masuk ke dalam perjalanan
lain yang lebih
menakjubkan dan lebih
nikmat daripada kota
Dammam, laut, dan pesawat
terbang. Yaitu, perjalanan
cinta yang baru dimulai
setelah 20 tahun menikah.
Perjalanan yang dimulai
dengan satu kata. Satu kata
yang jujur. Ia pun menangis
tersedu-sedu.
Sumber: “Malam Pertama,
Setelah Itu Air Mata” karya
Ahmad Salim Baduwailan,
Penerbit eLBA via
shalihah.com

Back to posts
Comments:

Post a comment

mp3
wallpaper
aplikasi
ebook
artikel
Online Users
27/253978
Old school Swatch Watches